Para
pendahulu kita yang shalih, sangat mempermudah urusan pernikahan wanita- wanita
yang di bawah perwalian mereka, karena mereka lebih mementingkan sisi agama dan
kemuliaan akhlak. Bahkan bila lelaki yang shalih belum kunjung datang meminang
wanita mereka, tak segan mereka tawarkan putri atau saudara perempuan mereka
kepada seorang yang shalih.
Al-Qur’an
yang mulia telah berkisah tentang tawaran seorang lelaki tua yang shalih di
negeri Madyan kepada Nabi Musa 'alaihissalam agar bersedia menikahi salah
seorang putrinya:
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً
مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ
مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لاَ نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا
شَيْخٌ كَبِيرٌ. فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ
إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ. فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا
تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا
سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لاَ تَخَفْ
نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ. قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَاأَبَتِ
اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِينُ. قَالَ
إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ
تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا
أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللهُ مِنَ الصَّالِحِينَ.
قَالَ ذَلِكَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ أَيَّمَا اْلأَجَلَيْنِ قَضَيْتُ فَلاَ عُدْوَانَ
عَلَيَّ وَاللهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ
“Dan
tatkala Musa sampai di sumber air negeri Madyan, ia menjumpai di sana sekumpulan
orang yang sedang meminumkan (ternak mereka) dan di belakang orang banyak itu,
ia dapati dua orang wanita yang sedang menghambat (ternak mereka). Musa
bertanya, ‘Ada apa dengan kalian (hingga tidak ikut meminumkan ternak
sebagaimana mereka)?’ Kedua wanita itu berkata, ‘Kami tidak dapat meminumkan
(ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternak mereka),
sedangkan ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usia.’ Maka Musa menolong
kedua wanita tersebut dengan memberi minum ternak keduanya. Setelahnya, ia
kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa, ‘Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat
memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.’ Kemudian datanglah
kepada Musa salah seorang dari kedua wanita tadi, ia berjalan dengan malu-malu.
Ia berkata, ‘Ayahku memanggilmu untuk membalas (kebaikan)mu memberi minum ternak
kami.’ Tatkala Musa menemui ayah si wanita dan menceritakan kisah dirinya, ayah
si wanita berkata, ‘Janganlah engkau takut. Engkau telah selamat dari orang-
orang yang dzalim itu.’ Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Wahai
ayahku, ambillah orang itu sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
sebaik-baik orang yang engkau ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang
kuat lagi dapat dipercaya.’ Berkatalah ayah si wanita kepada Musa, ‘Sungguh aku
bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua putriku ini, atas
dasar engkau bekerja denganku selama delapan tahun dan jika engkau cukupkan
sampai sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) darimu karena aku tidak
ingin memberatkanmu. Dan kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang baik’. Dia (Musa) berkata: ‘Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana
saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada
tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita
ucapkan’.” (Al- Qashash: 23-28)
Para ahli
tafsir berbeda pendapat tentang siapa lelaki ini. Ada beberapa pendapat dalam
hal ini. Salah satunya adalah pendapat yang mengatakan lelaki itu adalah Nabi
Syu’aib 'alaihissalam yang diutus Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada penduduk
Madyan. Inilah yang masyhur menurut kebanyakan ulama. Al-Hasan Al-Bashri
rahimahullahu dan selainnya berpendapat demikian.
Pendapat
lain mengatakan bahwa lelaki tersebut adalah saudara Nabi Syu’aib. Adapula yang
berpendapat dia adalah lelaki mukmin dari kaum Syu’aib. Yang lain mengatakan,
Syu’aib diutus pada masa yang jauh dari zaman Musa 'alaihissalam, karena Syu’aib
berkata kepada kaumnya:
وَمَا قَوْمُ لُوْطٍ مِنْكُمْ
بِبَعِيْدٍ
“Tidaklah
kaum Luth berada jauh dari kalian.” (Hud: 89)
Sementara
masa kebinasaan kaum Luth terjadi di zaman Nabi Ibrahim 'alaihissalam
sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur`an. Dan diketahui bahwa jarak antara masa
Nabi Ibrahim dengan Nabi Musa amatlah jauh, lebih dari 400 tahun, sebagaimana
disebutkan lebih dari seorang ulama. Termasuk yang memperkuat pendapat bahwa
lelaki itu bukanlah Nabi Syu’aib adalah seandainya benar dia Nabi Syu’aib
niscaya Al- Qur`an akan menyebut namanya dalam ayat tersebut. (Tafsir
Al-Qur`anil ‘Azhim, 6/110)
Lihat pula
apa yang dilakukan seorang sahabat Rasul yang kita tidak menyangsikan kemuliaan
dan kedudukannya, ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu 'anhu. Ketika putrinya
Hafshah radhiyallahu 'anha menjanda karena ditinggal mati suaminya, Khunais bin
Hudzafah As-Sahmi radhiyallahu 'anhu di Madinah, ‘Umar radhiyallahu 'anhu
mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu 'anhu yang belum lama ditimpa musibah
dengan meninggalnya istrinya, Ruqayyah bintu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, guna menawarkan putrinya kepada ‘Utsman, sekiranya ‘Utsman berhasrat
menikahinya. Namun ternyata ‘Utsman berkata, “Saya akan pertimbangkan urusanku.”
‘Umar pun menunggu beberapa hari. Ketika bertemu lagi, ‘Utsman berkata, “Aku
putuskan untuk tidak menikah dulu dalam waktu-waktu ini.” Karena ‘Utsman telah
memberikan isyarat penolakannya untuk menikah dengan Hafshah, ‘Umar pun menemui
Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu dengan maksud yang sama, “Jika engkau
mau, aku akan nikahkan engkau dengan Hafshah bintu ‘Umar,” kata ‘Umar. Namun Abu
Bakr diam tidak berucap sepatah kata pun. Sikap Abu Bakr seperti ini membuat
‘Umar marah. Selang beberapa hari, ternyata Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam meminang Hafshah. Betapa bahagianya ‘Umar dengan pinangan tersebut. Ia
pun menikahkan Hafshah dengan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Setelah
pernikahan yang diberkahi tersebut, Abu Bakr menjumpai ‘Umar dan berkata,
“Mungkin engkau marah kepadaku ketika engkau tawarkan Hafshah kepadaku namun aku
tidak berucap sepatah kata pun? “
“Iya,” jawab
Umar.
“Sebenarnya tidak
ada yang mencegahku untuk menerima tawaranmu. Hanya saja aku tahu Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyebut-nyebut Hafshah, maka aku tidak
suka menyebarkan rahasia Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut.
Seandainya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak jadi meminang Hafshah,
aku tentu mau menikahi Hafshah,” jawab Abu Bakr menjelaskan. (HR. Al-Bukhari no.
5122)
Satu kisah
yang menghiasi kitab-kitab tarikh (sejarah) juga patut kita bawakan di sini.
Kisah seorang tokoh tabi’in, Sa’id ibnul Musayyab rahimahullah, yang menawarkan
putrinya kepada muridnya, Abdullah ibnu Abi Wada’ah. Abdullah ini bercerita,
“Aku biasa duduk di majelis Sa’id ibnul Musayyab guna mendengarkan ilmu. Namun
dalam beberapa hari aku absen dari majelisnya, hingga Sa’id merasa kehilangan
diriku. Hingga suatu hari ketika aku menemuinya, ia bertanya, “Dari mana
engkau?”
“Istriku
meninggal dunia sehingga aku tersibukkan dengannya,” jawabku.
“Kenapa engkau
tidak memberitahukan kepadaku hingga kami bisa menghadiri jenasahnya?” tanya
Sa’id.
Setelah beberapa
lama berada dalam majelis, aku ingin bangkit untuk pulang. Namun Sa’id
menodongku dengan pertanyaan, “Apakah engkau ingin mencari istri yang
baru?”
“Semoga Allah
Subhanahu wa Ta'ala merahmatimu. Siapa yang mau menikahkan aku dengan wanitanya,
sementara aku tidak memiliki apa-apa kecuali uang sebesar dua atau tiga dirham?”
jawabku.
“Aku orangnya,”
kata Sa’id.
“Engkau ingin
melakukannya?” tanyaku
“Iya,” jawab
Sa’id.
Ia pun memuji
Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bershalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam, kemudian menikahkan aku dengan putrinya dengan mahar sebesar dua atau
tiga dirham. Setelahnya aku bangkit untuk kembali pulang dalam keadaan aku tidak
tahu apa yang harus kuperbuat karena bahagianya. Aku kembali ke rumahku dan
mulailah aku berpikir hingga tiba waktu maghrib. Usai mengerjakan shalat
maghrib, aku kembali ke rumahku. Kuhidupkan pelita. Ketika itu aku sedang puasa,
maka aku persiapkan makan malamku berupa roti dan minyak untuk berbuka. Tiba-
tiba pintu rumahku diketuk. “Siapa?” tanyaku.
“Sa’id,” jawab si
pengetuk.
Aku pun berpikir
siapa saja orang yang bernama Sa’id, tanpa terlintas di benakku tentang Sa’id
ibnul Musayyab, karena telah lewat waktu 40 tahun ia tak pernah terlihat ke
mana-mana kecuali di antara rumahnya dan masjid [Karena Sa’id memakmurkan
hari-harinya untuk memberikan pengajaran ilmu kepada manusia di rumah Allah
Subhanahu wa Ta'ala]. Aku pun keluar menemui si pengetuk dan ternyata ia adalah
Sa’id ibnul Musayyab. Semula aku menyangka ia akan membatalkan pernikahanku
dengan putrinya. Aku berkata, “Wahai Abu Muhammad! Seandainya engkau mengutus
seseorang untuk memanggilku niscaya aku akan mendatangimu.”
“Oh tidak! Engkau
lebih pantas untuk didatangi,” ujarnya.
“Apa yang engkau
perintahkan kepadaku?” tanyaku.
“Engkau tadinya
membujang lalu engkau menikah, maka aku tidak suka engkau melewati malam ini
sendirian. Ini istrimu!” kata Sa’id menunjuk seorang wanita yang berdiri
tersembunyi di belakangnya. Ia membawa wanita yang telah menjadi istriku itu ke
pintuku lalu menutupnya. Aku pun masuk menemui istriku. Ternyata kudapati ia
wanita yang sangat cantik dan paling hafal terhadap Kitabullah, serta paling
tahu tentang Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan tentunya
paling mengerti tentang hak suami.”
Demikian
kisah Abdullah ibnu Abi Wada’ah yang beruntung mempersunting putri Sa’id ibnul
Musayyab yang shalihah, jelita lagi cendekia. Padahal putri Sa’id ini pernah
dipinang oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan untuk putranya, Al-Walid. Namun
Sa’id enggan menikahkan putrinya dengan putra khalifah. Ia lebih memilih
menawarkan putrinya kepada muridnya yang hidup penuh dengan kesederhanaan, namun
sarat dengan ilmu dan keshalihan. (Siyar A’lamin Nubala`,
4/233-234)
Dari
kisah-kisah di atas yakinlah kita bahwa menawarkan anak gadis, saudara perempuan
atau keponakan kepada seorang lelaki yang shalih, bukanlah suatu cela. Bahkan
hal itu menunjukkan itikad yang baik dari wali si wanita, yaitu memilihkan orang
yang baik untuk wanitanya. Karena, seorang yang shalih bila mencintai istrinya
ia akan memuliakannya. Namun bila tidak mencintai istrinya, ia tidak akan
menghinakannya. Karenanya, janganlah para wali mempersulit urusan pernikahan
wanita mereka dengan seseorang yang baik agama dan akhlaknya!
Wallahu
a’lam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar